Minggu, 01 Mei 2011

BURUH DAN KEBINGUNGAN PUBLIK


Hari ini (1/5) adalah hari buruh, seperti biasa jalanan di Jakarta riuh rendah dengan aksi beberapa orang yang merasa dirinya sebagai buruh. Bermacam hal ingin dituntut tetapi intinya berharap kesejahteraan sebagai manusia dimuka bumi menjadi lebih baik. Yang menarik, hampir disemua pelosok bumi diadakan demo buruh semacam ini. Hal ini menandakan bahwa harapan kesejahteraan masih jauh dari realita.

Rasanya lebih baik membahas persoalan buruh dinegeri sendiri. Indonesia, negriku tercinta yang direbut dari tangan penjajah oleh nenek moyangku dengan tetesan darah dan airmata. Menilik tema demo buruh di Indonesia, saat ini lebih banyak menekankan demo anti outsourching, yang banyak dinilai berbagai kalangan sebagai "sangat merugikan", karena tidak ada jaminan kesejahteraan sama sekali. Biar lebih enak, saat ini saya buat analisa dari 3 sudut pandang sekaligus yaitu; buruh, pengusaha dan pemerintah.

PERSEPSI BURUH

Saya mungkin adalah buruh, persepsi saya saja, itu pasti. Saat saya merasa sebagai buruh saya menilai bahwa saya hanyalah "KOMODITAS PERUSAHAAN" dan sebagaimana komoditas, maka saya hanya akan dimanfaatkan saat masih bisa dimanfaatkan oleh pengusaha dan saat mengalami keterbatasan maka saya akan dibuang begitu saja oleh perusahaan ke tempat sampah.Yups, betul tempat sampah. Sebagai tenaga outsourching saya mungkin bekerja di perusahaan bonafid namun saya bukan karyawan perusahaan itu. Sebatas pekerjaan, saya dinilai bagian perusahaan tetapi pada tahap imbalan saya patuh dan tunduk pada perusahaan outsourching. sungguh tidak enak, membayangkan suatu saat dikala perusahaan merasa tenaga kita tidak produktif maka tinggal dikembalikan ke perusahaan outsourching tanpa pesangon.

Masalah keterbatasan ini selalu menghantui, karena itu adalah suatu keniscayaan. Sedikitnya kita berharap ketika pensiun atau harus diberhentikan, ada sejumlah dana/uang pesangon untuk melanjutkan kehidupan hingga tutup usia. Saat ini saya marah, karena takut dengan bayangan masa tua/ pemutusan hubungan kerja itu. Kemarahan utama saya sampaikan ke perusahaan, yang tega menempatkan kita diposisi tak berharga seperti itu. Tapi menilik bahwa hal ini dilindungi undang-undang maka saya pun marah kepada pemerintah atau wakil rakyat, yang tega memberlakukan hukum semacam ini untuk kami.

Tapi kembali lagi, ini semata persoalan persepsi, saat saya berpersepsi sebagai buruh maka saya akan hanya mengeluh dan terus mengeluh seperti itu. Marah dan terus marah, entah kepada siapa, karena tak kunjung ada perubahan apalagi perbaikan. semuanya menjauh.

Saat saya berpersepsi bukan sebagai buruh tetapi sebagai owner, koq rasanya jadi beda ya?...Saat ini saya menganggap saya adalah penjual jasa kepada perusahaan dimana saya sudah setuju dan sepakat menjual jasa pelayanan saya dengan gaji yang ditetapkan perusahaan. Saya harus selalu menunjukan kualitas pelayan terbaik saya supaya saya dibeli oleh pelanggan yaitu perusahaan tempat saya bekerja. Dan sekali saja saya lalai memberi pelayanan terbaik maka pelanggan saya akan kabur. Secara umum saya masih lebih beruntung ketimbang pedagang nasi goreng 'mas anto' di depan kantor, bagi anto tak ada pelanggan tetap dan tak mungkin berharap saya beli nasi goreng setiap hari karena pasti bosen. Tapi kalo saya, saya memiliki pelanggan tetap yaitu perusahaan tempat saya bekerja tanpa khawatir merasa bosen membayar tepat waktu dengan jumlah rupiah yang tetap setiap bulannya.

Masalahnya kan uangnya gag mencukupi membiayai hidup yang makin menggila?....itu adalah hal lain, kenapa kita tidak menjual jasa lainnya yang lebih memberi banyak penghasilan untuk kita. Misalnya disela-sela pekerjaan, saya menyempatkan berjualan pulsa, berjualan jasa potokopi, jualan panganan atau cemilan. Hasilnya halal dan menambah pendapatan kita. selanjutnya kalo itupun kurang, bisa jadi kesalahan terletak pada cara kita mensikapi penghasilan. Semisal saja, kalo kita berpenghasilan 1 juta tapi makan di Mc D setiap hari seperti bos kita yang berpenghasilan 10jt per bulan, yah jangan salahkan klo dalam tempo seminggu kita collaps.

Maka dari itu, kalo kita takut akan keterbatasan. Maka jangan salahkan sumber masuknya penghasilan saja. Tetapi gag ada salahnya melihat bagaimana kita mengatur keuangan juga. Klo kita takut masa tua tanpa pesangon dan uang pensiun, maka tidak ada salahnya kita berinvestasi sendiri untuk ciptakan keamanan pada masa depan. Minimalnya, sudahkah kita memiliki asuransi? Klo untuk yang satu ini saja selalu berkilah dan menganggap sebagai pemborosan. sementara jalan-jalan ke mall dianggap lebih menguntungkan, maka jangan salahkan klo kita kesulitan dana di masa tua.
Berarti kesimpulannya, semua tergantung persepsi kita. Kita merasa sebagai buruh dan merasa bagian terpinggirkan di jagat raya, maka hasilnya kita menjadi orang terbuang. Tetapi kalo merasa diri sebagai pengusaha untuk diri sendiri, yah kenapa gag berani mengatakan "AKU PUN SAMA SEPERTI PANGERAN WILLIAM!!..."

(bersambung...persepsi pengusaha)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan masukan komentar Anda di sini